BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Biografi Abu Yusuf
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn
Sa’ad ibn Husein al-Anshori[1].
Beliau lahir di Kufah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Abu Yusuf
berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut
Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar.
Sejak kecil ia
telah memiliki minat ilmiah yang tinggi, tetapi kelemahan ekonomi keluarganya
memaksanya ikut bekerja mencari nafkah. Beliau giat belajar dan
meriwayatkanya hadits.
Banyak ahli hadits
memujinya dalam hal periwayatan, padahal mereka jarang memuji para pendukung
ra’yu. Beliau meriwayatkan hadits
dari gurunya. Antara lain, Hisyam ibn Urwah, Abu Ishaq asy-Syaibani, Atha ibn Sa’ib,
dan orang-orang yang sejajar dan sezaman dengan mereka. Dalam belajar ia menunjukkan kemampuan
yang tinggi sebagai ahlurra’yi yang
dapat menghafal sejumlah hadits.
Kemudian ia tertarik untuk mendalami
ilmu fiqih. Ia mulai belajar fiqih pada Muhammad ibn Abdurrahman ibn Abi Laila. Selanjutnya ia belajar pada
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Beliau belajar pada Imam Abu Hanifah
selama 17 tahun. Melihat bakat, semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam
belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi membiayai seluruh keperluan pendidikannya,
bahkan biaya hidup keluarganya, Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu
Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai
dunia Islam.
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu
Yusuf menggantikan kedudukanya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.
Selama 16 tahun ia meneruskan tugas gurunya, selama itu pula ia tidak pernah
berhubungan dengan jabatan pemerintahan. Sebenarnya sejak Abu
Hanifah wafat, keadaan ekonominya semakin lama semakin memburuk dan tidak dapat
menunjang karier keilmuanya.
Hal ini
membuatnya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad pada tahun 166 H)/782 M. Di
Baghdad ia menemui khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi (159 H/775 M-169 H/785 M), yang
langsung mengangkatnyua sebagai hakim di Baghdad timur. Jabatan tersebut terus
dipegangnya sampai masa pemerintahan khalifah Al-Hadi (169 H/785 M-170 H/786
M). pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (170 H/786 M-194 H/809 M), organisasi
kehakiman mengalami perubahan, antara lain dengan dibentuknya jabatan penuntut
umum (kejaksaan) dan instansi Diwan Qadi
al Qudah.[2] Pada masa itu, Jabatan Abu Yusuf naik
menjadi ketua para hakim (qadi al qudah)
pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak masa Bani Umayyah (abad
ke-7 M) sampai masa Al-Mahdi dari Daulah Abbasiyah (abad ke-8 M).
Dengan jabatan
dan kewenangan itu, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk
memasyarakatkan hukum-hukum Mazhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya
suatu sistem hukum yang praktis. Karena pengangkatan hakim diseluruh Daulah
Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka terbuka kesempatan untuk mengangkat para murid dan pengikut Mazhab
Hanafi menjadi hakim di daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang
menyebabkan Mazhab Hanafi berkembang pesat dan tersebar luas di berbagai daerah
islam.
Ketika Abu
Yusuf memangku jabatan sebagai Qadi al
Qudah, beliau diminta oleh ar-Rasyid untuk menulis buku umum yang akan di
jadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan[3]. Buku
tersebut kemudian dikenal dengan nama kitab al-kharaj.
Kitab tersebut dijadikan pedoman penegakan hukum pada masa itu, untuk
menghindari kezaliman terhadap rakyat yang disebabkan oleh perbedaan kedudukan
atau agama. Dia telah meletakan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat islam. Kitabnya mempunyai peran penting dalam
menjadikan ar-rasyid
sebagai sosok yang sangat disiplin dalam menggunakan harta Negara, tidak pernah
berbuat zalim kepada seseorang dan selalu memberikan kepada yang berhak
menerimanya.
B.
Latar Belakang Pemikiran Abu Yusuf
Sebenarnya latar belakang
pemikiran tentang ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu faktor intern
dan
ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang
dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dari setting
social
dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, Ia berupaya melepaskan belenggu
pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan
rasionalitas dengan tidak bertaqlid. Faktor ekstern seperti adanya
sistem pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan
masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh
dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara
penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan setting social
seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.
Penekanan
terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang
selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat
panjang yang dikirimkannya kepada penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifa Harun
Al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan
perpajakan tersebut dikenal sebagai kitab al-Kharaj. Abu
Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari
para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya,
cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih
besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal
pajak, ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian
dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan
membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi
pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang
ditekankannya.
C.
Karya-Karya
Abu Yusuf
Di sela-sela
kesibukanya melaksanakan tugas sebagai murid, guru, hakim, dan kemudian pejabat
penting dalam kehakiman, Abu Yusuf masih sempat menulis berbagai buku yang
berpengaruh besar dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan peradilan serta
penyebaran Mazhab Hanafi. Beberapa diantara karyanya adalah sebagai berikut:
1. Kitab al-Asar.
Di dalam kitab ini dimuat hadis yang
diriwayatkan dari ayah dan gurunya.
Ada dari hadis-hadis tersebut yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah Saw,
ada yang sampai kepada sahabat dan ada pula yang hanya sampai kepada tabi’in. ia mengemukakan pendapat
gurunya Imam Abu Hanifah, kemudian penapatnya sendiri, dan menjelaskan sebab
terjadinya perbedaan pendapat mereka.
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi
Laila.
Di dalamnya dikemukakan pendapat Imam
Abu Hanifah dan ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka. Dalil-dalil nash
dan logika Imam Abu Hanifah juga dibuat dengan terperinci.
3. Kita bar-Radd ‘ala Siyar al-Auza’i.
Kitab
ini memuat perbedaan pendapatnya dengan pendapat Abdurrahman al-Auza’I tentang
masalah perang dan jihad, termasuk bantahanya terhadap pendapat al-Auza’i.
4. Kitab al-Kharaj.
Kitab ini merupakan kitab terpopuler
dari karya-karyanya. Di dalam kitab ini, ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam
berbagai aspek, seperti,
pemerintahan, keuangan negara, pajak tanah, perajakan, dan peradilan[4].
Menurut Ibn
Nadim (w. 386 H/995 M) seorang sejarawan, selain kitab-kitab tersebut, masih
banyak lagi buku yang disusunya, seperti Kitab
as-Salat (mengenai shalat), Kitab
az-Zakah (mengenai zakat), Kitab
Siyam (tentang puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai
jual beli), Kitab Faraid (mengenai
waris), dan Kitab al-Wasiyyah
(tentang wasiat). Dalam kitab-kitab tersebut dimuat
pendapat gurunya dan pendapatnya sendiri tentang masalah-masalah yang dikandung
oleh masing-masing kitab.
D. Kebijakan fiskal Abu Yusuf
1. Kerangka umum Kitab al-Kharaj
Abu
Yusuf merupakan ahli fiqih pertama yang mencurahkan perhatianya pada
permasalahan ekonomi. Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak
pada tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat,
pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk
menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan
hasil pengamatan dan penalaranya, Abu Yusuf menganalisa permasalahan-permasalahan
fiskal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia senantiasa menggunakan ayat-ayat dan
hadits-hadits serta atsar
yang terlerefan
untuk mendukung pilihan kebijakan yang diadopsi.
Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa beberapah
abad sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematis di Barat, Abu Yusuf
telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam
membayar pajak[5].
Kontribusi yang lain adalah dengan menunjukan keunggulan sistem pajak
proporsional (muqasamah) menggantikan
sistem pajak tetap (misahah/wazifah)
pada tanah. Beliau juga menekankan seperti apa pentingnya
pengawasan pada petugas pengumpul pajak untuk mencegah korupsi dan menghapuskan penindasan. Dalam
penggunaan dana publik, beliau mengungkapkan pentingnya pembangunan
infrastruktur untuk
mendukung produktivitas dalam meningkatkan pendapatan Negara.
2. Keuangan Publik Menurut Abu Yusuf
Prinsip-prinsip
umum keuangan publik sebagai salah satu aktivitas ekonomi yang penting bagi negara
telah dibahas dalam Al-Quran.
Walaupun tidak dijelaskan secara rinci mengenai kebijakan fiskal, akan tetapi
ada beberapa pelajaran dan petunjuk yang dapat dijadikan sebagai pedoman.
Dalam kitab al-Kharaj,
memang tidak ada satu judul khusus tentang pos-pos penerimaan negara,
tetapi secara umum penerimaan negara dalam daulah Islamiyah yang ditulis oleh
beliau dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu: (i) Ganimah, (ii) zakat,(iii) harta Fay’ yang
di dalamnya termasuk jizyah, ‘usyur dan kharaj[6].
Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk
membiayai aktivitas pemerintahan. Akan tetapi, Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah
untuk menganggap sumber daya sebagai suatu amanah dari Tuhan yang akan diminta
pertanggung jawabanya kelak di akhirat. Oleh karena itu, efisiensi dalam
penggunaan sumber daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan
pemerintahan.
Ketiga
sumber penerimaan tersebut, memiliki aturan-aturan dalam pemungutanya,
rincianya sebagai berikut[7]:
a. Ganimah
Ganimah
adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir
melalui peperangan. Harta tersebut biasanya berupa uang, senjata, barang-barang dagangan
, bahan pangan dan lainya.
Harta ganimah
kaum muslim yang pertama kali, terjadi setelah Allah Swt mengizinkan mereka
berperang seiring dengan hijrahnya Rasulullah ke3 Madinah, membangun masjid
serta merintis pendirian negara islam yang kokoh, yaitu ganimah Abdullah ibn Jahsyi. Ganimah
tersebut sebagian unta Quraisy yang membawa perbekalan logistik dan barang
dagangan. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jumadi
as-sani, tahun kedua hijriah.
Abu
yusuf menyebutkan masalah ganimah
diawal pembahasan tentang pemasukan negara. Boleh jadi, pada masa itu proses
ekspansi wilayah masih berjalan sekalipun tidak terlalu besar. Oleh karena itu,
pemasukan dari ganimah tetap ada dan
menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya
yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak
tetap bagi negara.
Abu
Yusuf mengatakan jika ganimah di dapat sebagai hasil
pertempuran dengan pihak musuh, maka
harus dibagikan sesuai dengan paduan dalam Al-Quran, surat al-Anal
ayat 41. Pembagian Khumus ini
memberikan 1/5 atau 20% dari total rampasan untuk Allah dan Rasul-nya serta
orang-orang miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah saham bagi mereka yang
ikut peperangan.
b. Zakat
Sebagai
salah satu instrumen keuangan negara, zakat tetap menjadi salah satu sumber keuangan negara pada saat itu. Akan
tetapi, beliau tidak membahas secara rinci tentang hukum-hukum zakat yang biasa
dilakukan oleh ulama fiqih. Uraianya dalam masalah zakat banyak menyinggung persoalan
keadilan secara umum.
Diantara
objek zakat yang menjadi perhatianya adalah pertama,
zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar ‘usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari
jenis tanah dan irigasi. Tanah yang tidak banyak membutuhkan tenaga untuk
penyiapan sarana pengairan, jumlah pajak 10%, sedangkan tanah yang memerlukan
kerja keras untuk menyediaan saluran air dan irigrasi, jumlah pajaknya 5%.
Selain itu, menurut Abu Yusuf, Yahya ibn Adam dan para tokoh lainya, hasil
produksi agrikultur akan
dikenakan zakat bila telah mencapai nishab 623 kg. jika kurang dari itu, mereka
belum terkena kewajiban.
Yang
termasuk kategori tanah ‘Usyriyah menurut
Abu Yusuf adalah :
1. Lahan yang termasuk jazirah Arab,
meliputi Hijaz, Makkah, Madinah dan Yaman.
2. Tanah tandus / mati yang dihidupkan
kembali oleh orang islam.
3. Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada
tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar.
4. Tanah yang diberikan negara kepada orang
islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang
yang berjasa bagi Negara.
5.
Tanah yang dimiliki
oleh orang islam dari negara, seperti tanah yang sebelumnya dimilikioleh
raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang
terbunuh atau melarikan diri dari peperangan.
Kedua objek zakat yang menjadi perhatianya adalah zakat dari hasil mineral atau
barang tambang lainya. Abu Yusuf dan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa standard zakat untuk barang-barang tersebut tarifnya seperti ganimah,
yaitu 1/5 atau 20% dari total produksi.
c. Harta Fay’
Fay’
adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafirtanpa
peperangan, termasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta fay’ dan harta-harta yang mengikutinya
berupa Kharaj, jizyah dan usyur merupakan harta yang boleh
dimanfaatkan oleh kaum muslim dan disimpan dalam Bait al-mall semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber
pendapatan tetap bagi negara. Harta tersebut dapat dibelanjakan
untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan mereka.
1)
Jizyah
(Pool Tax)
Istilah jizyah berasal dari kata “ jaza”
yang berarti kompensasi. Pada terminologi fiscal islam, istilah jizyah
digunakan untuk pajak yang ditarik dari penduduk non muslim di negara muslim
sebagai biaya perlindungan mereka. Dengan kata lain, jizyah adalahkewajiban
yang dibebankan kepada penduduk non muslim yang tinggal di negara Islam sebagai
pengganti biaya perlindungan atas hidup, property kebebasan untuk menjalankan
agama mereka. Disamping itu, mereka dibebaskan dari kewajiban militer dan
diberikan keamanan sosial.
Agar
administrasi pemungutan jizyah
berjalan efektif dan tetap berprinsip pada nilai-nilai keadilan, beliau
menasehati khalifah untuk menunjuk seorang administrator yang jujur disetiap
kota dengan asisten yang akan berhubungan langsung dengan kepala darikomunitas zimmi untuk mengumpulkan jizyah melalui mereka. Pendapatan yang diperoleh
kemudian dikirim ke perbendaharaan negara.
2)
Usyr (
Bea Cukai)
Usyr
merupakan
hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl zimmah dan penduduk darul
harbi yang melewati perbatasan negara islam. Usyr dibayar dengan uang cash
atau barang.
Abu Yusuf,
melaporkan bahwa Abu Musa Al-As’ari, salah seorang gubernur, pernah menulis
kepada khalifah Umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif 1/10
di tanah-tanah harb. Khalifah
Umar menasehatinya untuk melakukan hal yang
sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka lakukan pada pedagang
muslim.
Tarif ‘usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslimmaka
ia akan dikenakan zakat perdagangan sebesar 2,5% dari total barang yang
dibawanya. Sedangkan ahl zimmah dikenakan
tarif 5%. Kafir
harbi, dikenakan tarif 10% sesuai
dengan tarif yang dikenakan oleh mereka ketika pedagang muslim melintasi
wilayah mereka. Selain itu, Kafir harbi dikenakan
bea sebanyak kedatangan mereka ke negara islam dengan barang yang sama. Tetapi
bagi pedagang muslim dan pedagang ahl
zimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun.
Dalam pengumpulan bea, Abu Yusuf mensyaratkan dua hal yang
harus dipertimbangkan. Pertama
barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk
diperdagangkan. Karena barang yang dibawa untuk perlengkapan selama mereka
melakukan perjalanan bukanlah objek yang dapat dikenakan bea. Kedua, nilai barang yang dibawa tidak
kurang dari 200 dirham. Hal ini dilakukan oleh Abu Yusuf untuk melindungi para
pedagang kecil agar tetap bisa bersaing dengan para pedagang besar.
3)
Kharaj
Kharaj[8] adalah pajak
tanah yang dipungut dari non muslim. Kharaj
pertama kali terjadi ketika Khibar ditaklukkan pada masa Rasulullah Saw.
Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan
dikenai pajak antara lain[9]:
a)
Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam
i.
Wilayah yang diperoleh melalui
peperangan.
ii.
Wilayah yang diperoleh melalui
perjanjian damai.
iii.
Wilayah yang dimiliki muslim diluar
Arab. (mebayarUsyr)
b)
Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai
i.
Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr)
ii.
Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj)
c) Tanah taklukan
i.
Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka
miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
ii.
Tanah taklukan tidak
diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayarKharaj
Tanah yang dibagikan kepada
para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
[7] Abdul Qadim Zallum,
2002. Sistem Keuangan di Negara Khilafah (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), hal. 20
No comments:
Post a Comment