Wednesday 25 September 2013

Abu Yusuf

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.      Biografi Abu Yusuf
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein al-Anshori[1]. Beliau lahir di Kufah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar.
Sejak kecil ia telah memiliki minat ilmiah yang tinggi, tetapi kelemahan ekonomi keluarganya memaksanya ikut bekerja mencari nafkah. Beliau giat belajar dan meriwayatkanya hadits. Banyak ahli hadits memujinya dalam hal periwayatan, padahal mereka jarang memuji para pendukung ra’yu. Beliau meriwayatkan hadits dari gurunya. Antara lain, Hisyam ibn Urwah, Abu Ishaq asy-Syaibani, Atha ibn Sa’ib, dan orang-orang yang sejajar dan sezaman dengan mereka. Dalam belajar ia menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlurra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadits.
Kemudian ia tertarik untuk mendalami ilmu fiqih. Ia mulai belajar fiqih pada Muhammad ibn Abdurrahman  ibn Abi Laila. Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Beliau belajar pada Imam Abu Hanifah selama 17 tahun. Melihat bakat, semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya, Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukanya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah. Selama 16 tahun ia meneruskan tugas gurunya, selama itu pula ia tidak pernah berhubungan dengan jabatan pemerintahan.  Sebenarnya sejak Abu Hanifah wafat, keadaan ekonominya semakin lama semakin memburuk dan tidak dapat menunjang karier keilmuanya.
Hal ini membuatnya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad pada tahun 166 H)/782 M. Di Baghdad ia menemui khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi (159 H/775 M-169 H/785 M), yang langsung mengangkatnyua sebagai hakim di Baghdad timur. Jabatan tersebut terus dipegangnya sampai masa pemerintahan khalifah Al-Hadi (169 H/785 M-170 H/786 M). pada masa khalifah Harun ar-Rasyid (170 H/786 M-194 H/809 M), organisasi kehakiman mengalami perubahan, antara lain dengan dibentuknya jabatan penuntut umum (kejaksaan) dan instansi Diwan Qadi al Qudah.[2] Pada masa itu, Jabatan Abu Yusuf naik menjadi ketua para hakim (qadi al qudah) pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak masa Bani Umayyah (abad ke-7 M) sampai masa Al-Mahdi dari Daulah Abbasiyah (abad ke-8 M).
Dengan jabatan dan kewenangan itu, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasyarakatkan hukum-hukum Mazhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya suatu sistem hukum yang praktis. Karena pengangkatan hakim diseluruh Daulah Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka terbuka kesempatan untuk  mengangkat para murid dan pengikut Mazhab Hanafi menjadi hakim di daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Mazhab Hanafi berkembang pesat dan tersebar luas di berbagai daerah islam.
Ketika Abu Yusuf memangku jabatan sebagai Qadi al Qudah, beliau diminta oleh ar-Rasyid untuk menulis buku umum yang akan di jadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan[3]. Buku tersebut kemudian dikenal dengan nama kitab al-kharaj. Kitab tersebut dijadikan pedoman penegakan hukum pada masa itu, untuk menghindari kezaliman terhadap rakyat yang disebabkan oleh perbedaan kedudukan atau agama. Dia telah meletakan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat islam. Kitabnya mempunyai peran penting dalam menjadikan ar-rasyid sebagai sosok yang sangat disiplin dalam menggunakan harta Negara, tidak pernah berbuat zalim kepada seseorang dan selalu memberikan kepada yang berhak menerimanya.
B.       Latar Belakang Pemikiran Abu Yusuf
Sebenarnya latar belakang pemikiran tentang ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dari setting social dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasionalitas dengan tidak bertaqlid. Faktor ekstern seperti adanya sistem pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan setting social seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifa Harun Al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai kitab al-Kharaj. Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
C.       Karya-Karya Abu Yusuf
Di sela-sela kesibukanya melaksanakan tugas sebagai murid, guru, hakim, dan kemudian pejabat penting dalam kehakiman, Abu Yusuf masih sempat menulis berbagai buku yang berpengaruh besar dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan peradilan serta penyebaran Mazhab Hanafi. Beberapa diantara karyanya adalah sebagai berikut:
1.    Kitab al-Asar.
Di dalam kitab ini dimuat hadis yang diriwayatkan dari ayah dan gurunya. Ada dari hadis-hadis tersebut yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah Saw, ada yang sampai kepada sahabat dan ada pula yang hanya sampai kepada tabi’in. ia mengemukakan pendapat gurunya Imam Abu Hanifah, kemudian penapatnya sendiri, dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.

2.    Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi Laila.
Di dalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka. Dalil-dalil nash dan logika Imam Abu Hanifah juga dibuat dengan terperinci.

3.    Kita bar-Radd ‘ala Siyar al-Auza’i.
Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan pendapat Abdurrahman al-Auza’I tentang masalah perang dan jihad, termasuk bantahanya terhadap pendapat al-Auza’i.

4.    Kitab al-Kharaj.
Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya. Di dalam kitab ini, ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti, pemerintahan, keuangan negara, pajak tanah, perajakan, dan peradilan[4].
Menurut Ibn Nadim (w. 386 H/995 M) seorang sejarawan, selain kitab-kitab tersebut, masih banyak lagi buku yang disusunya, seperti Kitab as-Salat (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat), Kitab Siyam (tentang puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab Faraid (mengenai waris), dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat). Dalam kitab-kitab tersebut dimuat pendapat gurunya dan pendapatnya sendiri tentang masalah-masalah yang dikandung oleh masing-masing kitab.
D.    Kebijakan fiskal Abu Yusuf
1.    Kerangka umum Kitab al-Kharaj
Abu Yusuf merupakan ahli fiqih pertama yang mencurahkan perhatianya pada permasalahan ekonomi. Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan hasil pengamatan dan penalaranya, Abu Yusuf menganalisa permasalahan-permasalahan fiskal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia senantiasa menggunakan ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar yang terlerefan untuk mendukung pilihan kebijakan yang diadopsi.
Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa beberapah abad sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematis di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam membayar pajak[5]. Kontribusi yang lain adalah dengan menunjukan keunggulan sistem pajak proporsional (muqasamah) menggantikan sistem pajak tetap (misahah/wazifah) pada tanah. Beliau juga menekankan seperti apa pentingnya pengawasan pada petugas pengumpul pajak untuk mencegah korupsi dan menghapuskan penindasan. Dalam penggunaan dana publik, beliau mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktivitas dalam meningkatkan pendapatan Negara.

2.    Keuangan Publik Menurut Abu Yusuf
Prinsip-prinsip umum keuangan publik sebagai salah satu aktivitas ekonomi yang penting bagi negara telah dibahas dalam Al-Quran. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci mengenai kebijakan fiskal, akan tetapi ada beberapa pelajaran dan petunjuk yang dapat dijadikan sebagai pedoman.
Dalam kitab al-Kharaj, memang tidak ada satu judul khusus tentang pos-pos penerimaan negara, tetapi secara umum penerimaan negara dalam daulah Islamiyah yang ditulis oleh beliau dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu: (i) Ganimah, (ii) zakat,(iii) harta Fay’ yang di dalamnya termasuk  jizyah, ‘usyur dan kharaj[6].
Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan. Akan tetapi, Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai suatu amanah dari Tuhan yang akan diminta pertanggung jawabanya kelak di akhirat. Oleh karena itu, efisiensi dalam penggunaan sumber daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan pemerintahan.
Ketiga sumber penerimaan tersebut, memiliki aturan-aturan dalam pemungutanya, rincianya sebagai berikut[7]:
a.       Ganimah
Ganimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Harta tersebut biasanya berupa uang, senjata, barang-barang dagangan , bahan pangan dan lainya.
Harta ganimah kaum muslim yang pertama kali, terjadi setelah Allah Swt mengizinkan mereka berperang seiring dengan hijrahnya Rasulullah ke3 Madinah, membangun masjid serta merintis pendirian negara islam yang kokoh, yaitu ganimah Abdullah ibn Jahsyi. Ganimah tersebut sebagian unta Quraisy yang membawa perbekalan logistik dan barang dagangan. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jumadi as-sani, tahun kedua hijriah.
Abu yusuf menyebutkan masalah ganimah diawal pembahasan tentang pemasukan negara. Boleh jadi, pada masa itu proses ekspansi wilayah masih berjalan sekalipun tidak terlalu besar. Oleh karena itu, pemasukan dari ganimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi negara.
Abu Yusuf mengatakan jika ganimah di dapat sebagai hasil pertempuran dengan pihak musuh, maka harus dibagikan sesuai dengan paduan dalam Al-Quran, surat al-Anal ayat 41. Pembagian Khumus ini memberikan 1/5 atau 20% dari total rampasan untuk Allah dan Rasul-nya serta orang-orang miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah saham bagi mereka yang ikut peperangan.

b.      Zakat
Sebagai salah satu instrumen keuangan negara, zakat tetap menjadi salah satu  sumber keuangan negara pada saat itu. Akan tetapi, beliau tidak membahas secara rinci tentang hukum-hukum zakat yang biasa dilakukan oleh ulama fiqih. Uraianya dalam masalah zakat banyak menyinggung persoalan keadilan secara umum.
Diantara objek zakat yang menjadi perhatianya adalah pertama, zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar ‘usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Tanah yang tidak banyak membutuhkan tenaga untuk penyiapan sarana pengairan, jumlah pajak 10%, sedangkan tanah yang memerlukan kerja keras untuk menyediaan saluran air dan irigrasi, jumlah pajaknya 5%. Selain itu, menurut Abu Yusuf, Yahya ibn Adam dan para tokoh lainya, hasil produksi agrikultur akan dikenakan zakat bila telah mencapai nishab 623 kg. jika kurang dari itu, mereka belum terkena  kewajiban.

Yang termasuk kategori tanah ‘Usyriyah menurut Abu Yusuf adalah :
1.    Lahan yang termasuk jazirah Arab, meliputi Hijaz, Makkah, Madinah dan Yaman.
2.    Tanah tandus / mati yang dihidupkan kembali oleh orang islam.
3.    Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar.
4.    Tanah yang diberikan negara kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5.    Tanah yang dimiliki  oleh orang islam dari negara, seperti tanah yang sebelumnya dimilikioleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melarikan diri dari peperangan.
Kedua objek zakat yang menjadi perhatianya adalah zakat dari hasil mineral atau barang tambang lainya. Abu Yusuf dan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa standard zakat untuk barang-barang tersebut tarifnya seperti ganimah, yaitu 1/5 atau 20% dari total produksi.
c.       Harta Fay’
Fay’ adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafirtanpa peperangan, termasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut,  jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta fay’ dan harta-harta yang mengikutinya berupa Kharajjizyah dan usyur merupakan harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslim dan disimpan dalam Bait al-mall semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi negara. Harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan mereka.
1)        Jizyah (Pool Tax)
Istilah jizyah berasal dari kata “ jaza” yang berarti kompensasi. Pada terminologi fiscal islam, istilah jizyah digunakan untuk pajak yang ditarik dari penduduk non muslim di negara muslim sebagai biaya perlindungan mereka. Dengan kata lain, jizyah adalahkewajiban yang dibebankan kepada penduduk non muslim yang tinggal di negara Islam sebagai pengganti biaya perlindungan atas hidup, property kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Disamping itu, mereka dibebaskan dari kewajiban militer dan diberikan keamanan sosial.
Agar administrasi pemungutan jizyah berjalan efektif dan tetap berprinsip pada nilai-nilai keadilan, beliau menasehati khalifah untuk menunjuk seorang administrator yang jujur disetiap kota dengan asisten yang akan berhubungan langsung dengan kepala darikomunitas zimmi untuk mengumpulkan  jizyah  melalui mereka. Pendapatan yang diperoleh kemudian dikirim ke perbendaharaan negara.
2)             Usyr ( Bea Cukai)
Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl zimmah dan penduduk darul harbi yang melewati perbatasan negara islam. Usyr dibayar dengan uang cash atau barang.
Abu Yusuf, melaporkan bahwa Abu Musa Al-As’ari, salah seorang gubernur, pernah menulis kepada khalifah Umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif 1/10 di tanah-tanah harb. Khalifah Umar menasehatinya untuk melakukan hal yang sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka lakukan pada pedagang muslim.
Tarif ‘usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslimmaka ia akan dikenakan zakat perdagangan sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl zimmah dikenakan tarif 5%. Kafir harbi, dikenakan tarif 10% sesuai dengan tarif yang dikenakan oleh mereka ketika pedagang muslim melintasi wilayah mereka. Selain itu, Kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka ke negara islam dengan barang yang sama. Tetapi bagi pedagang muslim dan pedagang ahl zimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun.
Dalam pengumpulan bea, Abu Yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan. Karena barang yang dibawa untuk perlengkapan selama mereka melakukan perjalanan bukanlah objek yang dapat dikenakan bea. Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham. Hal ini dilakukan oleh Abu Yusuf untuk melindungi para pedagang kecil agar tetap bisa bersaing dengan para pedagang besar.

3)        Kharaj
Kharaj[8] adalah pajak tanah yang dipungut dari non muslim. Kharaj pertama kali terjadi ketika Khibar ditaklukkan pada masa Rasulullah Saw.
Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain[9]:
a)      Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam
i.                     Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
ii.                   Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
iii.                 Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab. (mebayarUsyr)
b)      Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai
i.                    Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr)
ii.                  Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj)
c)     Tanah taklukan
i.                    Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
ii.                  Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayarKharaj
Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.


[1] Amalia, Euis. 2010. Sejarah pemikiran ekonomi islam. (gramata publishing : Depok). Hal 117.
[2] A. Hajsmy, 1995. Sejarah Kebudayaan Islam, (PT.Bulan Bintang : Jakarta), hal.235
[3] P3EI, UII Yogyakarta. 2012. Ekonomi Islam. (Rajawali Pers : Yogyakarta) hal 107
[4] P3EI. 2012. Ekonomi Islam. (Rajawali Pers : Jakarta) hal 107.
[5] Amalia, Euis. 2010. Sejarah pemikiran ekonomi islam. (gramata publishing : Depok). Hal 118.
[6] Ibid, hal 119.
[7] Abdul Qadim Zallum, 2002. Sistem Keuangan di Negara Khilafah (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), hal. 20
[8] Adhiwarman A. Karim. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (IIT Indonesia: Jakarta). hal. 32

Wednesday 18 September 2013

TAFSIR AYAT AL-FATIHAH


Dalam Al-Quran, surat Al-Fatihah tercatat sebagai surat ke 1, yang terdiri dari 7 ayat. Secara umum, ayat demi ayat serta surat demi surat yang ada dalam Al-Qur’an memanglah penting. Ia tetap menjadi landasan spiritual yang urgen (hal yang sangat penting) bagi setiap muslim. Keseluruhan huruf demi huruf yang ada dalam Al-Qur’an menjadi pegangan teologis kaum muslimin yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, secara spesifik, surat Al-Fatihah memiliki banyak “kelebihan” dibanding dengan surat-surat lain. Atau setidaknya, ia memiliki keistimewaan berbeda dibandingkan dengan keistimewaan surat lain.
Sekedar menyebut salah satu keistimewaan surat Al-Fatihah adalah bahwa ia merupakan satu-satunya surat yang wajib dibaca saat seorang muslim melakukan shalat dan shalat sendiri merupakan satu-satunya format ibadah vertikal yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Nabi Muhammad Saw bahkan bersabda bahwa shalat seorang muslim tidak sah jika tidak membaca surat Al-Fatihah (Lâ sholâta liman lam yaqra’ bi-fâtihatil Kitâbi). Dalam kesempatan lain, Nabi Saw juga menyatakan bahwa Al-Fatihah merupakan induk Al-Qur’an (Ummul-Qur’ân). Masih banyak lagi sabda Nabi Muhammad Saw yang intinya, menegaskan kelebihan surat Al-Fatihah dibanding surat-surat lain dalam Al-Qur’an.
Mengapa surat Al-Fatihah begitu urgen dan exclusive. Jika ditinjau dari sisi contains, materi yang dibicarakan atau tepatnya dinasehatkan dalam surat Al-Fatihah ternyata sangatlah penting, khususnya bagi proses rekonstruksi teologi kaum muslimin atau bahkan manusia keseluruhannya.




Berikut ini sedikit keterangan materi surat al-Fatihah dari ayat per ayat.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ  
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat pertama ini menegaskan pentingnya penyebutan atau tepatnya pengakuan manusia atas kuasa Tuhan, atas keesaan-Nya dan atas segala kebesaran-Nya. Manusia diajarkan dan diharuskan mengakui ke-Maha Pemurah-an Tuhan dan ke-Maha Penyayangan-Nya. Di sini, pengakuan-pengakuan itu merupakan harga mati atas setiap manusia. Jadi, ayat ini bukan sekedar mengajarkan ‘penyebutan’ universal atas [nama] Tuhan, melainkan deklarasi atas kebesaran-Nya, yang pada ayat itu direpresentasikan melalui lafadz  ar-rahmân dan ar-rahîm. 
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ  
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Setelah manusia mengakui segala kebesaran Tuhan, maka pada ayat kedua ini Tuhan melalui surat Al-Fatihah menasehatkan manusia supaya melakukan pendekatan pribadi kepada-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya. Ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan manusia setelah ia menegaskan pengakuan tadi. Sebenarnya, kebesaran Tuhan tidaklah berkurang tanpa pujian manusia dan segenap makhluk, dan kebesaran-Nya pun tidak pula bertambah dengan adanya pujian-pujian itu. Dengan demikian, ayat ini sebenarnya lebih menekankan kepada pengajaran [at-Ta’lîm] dan pendidikan [at-Tarbiyah] kepada manusia, agar dia mampu berkomunikasi dengan Tuhan yang telah dikenalnya tadi.
Pujian kepada Tuhan bukan tanpa sebab. Ia adalah pujian atas seluruh kenikmatan yang telah diterima manusia. Kenikmatan terbesar dari Tuhan kepada manusia, pada titik ini, adalah kenikmatan berupa pengetahuan manusia atas Tuhannya. Ia bukan kenikmatan dalam arti sempit seperti limpahan rezeki material dan semacamnya. Pada saat seorang hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan hamida-nî ‘abdî, hambaku telah memujiku. Dan menurut Nabi Muhammad Saw, pada saat hamba mengucapkan ayat ini, maka  hamba tersebut bersyukur kepada Tuhan, sehingga Tuhan pun akan menambahi rezekinya.
Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ    
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Pengulangan pujian ini untuk sebuah penegasan. Ar-Rahmân bermakna [Tuhan] yang Maha Pemurah, atau Pengasih. Dia mengasihi seluruh makhluk yang ada di dunia, baik yang beriman atau yang bukan. Sedangkan ar-Rahîm bermakna mengasihi seluruh orang-orang yang beriman kelak di akhirat.
Pada saat seorang hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan atsnâ ‘alayya ‘abdî, hambaku telah memuji kepadaku.
Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ  
“Yang menguasai hari Pembalasan”.
Pengakuan sekaligus juga pujian, bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa pada hari kiamat. Ini merupakan pujian ketiga berturut-turut, dan begitulah pendidikan dari Tuhan kepada manusia.  
Pada saat seorang hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan majida-nî ‘abdî, hambaku telah memujiku. 
x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ  
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”.
Setelah mengajari manusia tentang metode pendekatan terhadap Tuhan, beberapa pujian serta penegasan tentang sesembahan, barulah Tuhan mengajarkan bahwa setelah manusia melakukan hal itu semua, maka manusia diberi “kesempatan” untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Dan pertolongan serta permintaan itu dilakukan manusia hanya ditujukan kepada Tuhan, bukan yang lain.
Maka tepatlah kalau Tuhan menggunakan kalimat wa Iyyâka Nasta’în, yang berarti dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Pada saat seorang hamba membaca ayat kelima ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan hadza baynî wa bayna ‘abdî, wa li-‘abdî mâ sa-ala, ini adalah [urusan] antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, [kuberikan] apapun yang dia minta. 
Sampai pada ayat ini, kita sebenarnya sudah bisa menangkap sebagian falsafah dari surat al-Fatihah. Ringkasnya, hingga ayat ke 5 ini, adalah sebagai berikut : 
[i] manusia hendaklah mengenal Tuhannya, dan menjadikan Tuhannya sebagai satu-satunya elemen penting dalam melakukan sesuatu.
[ii] manusia hendaklah melakukan pujian-pujian terhadap Tuhannya. Ia tentu bukan bermakna sekedar pujian secara oral, melainkan meliputi juga pengakuan penuh dari lubuk qalbu manusia atas segala kebesaran dan keagungan Tuhan. Pujian-pujian itu merupakan alat untuk melakukan pendekatan-pendekatan.
[iii] setelah melakukan pujian-pujian, manusia meneguhkan diri bahwa kepada Tuhan-lah ia menyembah, dan sama sekali tidak melakukan sesembahan atau pengagungan kepada yang lain.
[iv] setelah mengenal Tuhannya, melakukan pujian dan pendekatan-pendekatan, serta peneguhan ketuhanan sang Tuhan, maka manusia menyatakan diri bahwa hanya kepada-Nya pula para manusia melakukan permintaan dan pertolongan.
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ  
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus”
Pengajaran Tuhan selanjutnya; manusia tidak bisa berbuat sombong, oleh karenanya ia diajarkan untuk selalu memohon dan meminta, yang dalam hal ini adalah permintaan untuk sebuah kebenaran. Dan hanya kepada Tuhan sajalah manusia itu memohon kebenaran. Makna kebenaran atau jalan yang lurus di sini tentulah tidak sederhana, namun ia disimplifikasi pada ayat berikutnya.
xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ  
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Kenikmatan Tuhan hanyalah diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan itu bukanlah kepada orang-orang yang dimurkai dan yang memilih jalan sendiri. Abdullah ibn Abbas menyebutkan bahwa orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan oleh Tuhan, di antaranya, adalah para nabi dan orang-orang yang saleh, orang yang bersih jiwanya. 

Pada saat seorang hamba membaca ayat keenam dan ketujuh, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan sama dengan pada ayat kelima “hadza baynî wa bayna ‘abdî, wa li-‘abdî mâ sa-ala”, ini adalah [urusan] antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, [kuberikan] apapun yang dia minta.